Langsung ke konten utama

Revolusi 4.0 dan Budaya Yang Latah (Part I)


Menuju penghujung tahun 2018, saya berkesempatan menghadiri seminar Revolusi Industri 4.0 yang diadakan oleh BPIP Unpad. Acara yang sangat 'kekinian banget', karena membahas persoalan yang sedang terjadi di kehidupan sosial-ekonomi kita. Acaranya tambah keren lagi, karena pemateri-pematerinya yang menurutku betul-betul menguasai bidangnya. Dan makin tambah keren, karena acaranya gratis dan dapet makan gratis pula. Alhasil, 'kekerenan' itu semuanya membuatku merasa terkesan. Duit weuteuh, beuteung seubeuh, uteuk? nyaa kitu welah... 

Selain itu semua yang saya dapatkan, ada salah satu pemateri di kegiatan tersebut yang ingin saya dengarkan ceramah ilmiah nya, Yaitu Prof Eko Indrajit. Nama yang sebelumnya selalu saya temui di buku-buku rujukan saat kuliah dulu. Temen-temen semuanya bisa mengunjungi situs beliau di www.mayapada.com. Dan di ulang tahunnya yang ke-50, beliau akan membagikan hasil karya tulisnya secara gratis dan bisa diunduh secara gratis.

Okeh, kita kembali ke pembahasan yang akan saya kemukakan disini. Setelah mengikuti dan mendengarkan dengan seksama kegiatan tersebut, saya melakukan refleksi 'di sana dan di sini'. Apa yang saya pahami tentang revolusi industri dan dampaknya terhadap kehidupan sosial, khususnya kehidupan sosial kita, telah mendapatkan sudut pandang baru.

Rasanya kurang begitu lengkap, jika nama Prof. Yasraf Amir Piliang dan Prof. Rhenald Kasali tidak saya sebutkan disini. Yang satu adalah penulis buku 'dunia yang dilipat', dan yang satunya lagi adalah penulis buku 'disruption'. Yang satu ngomongin soal 'culture' dan yang satunya lagi ngomongin soal 'bisnis'. Keduanya membahas tentang permasalahan-permasalahan yang kekinian, permasalahan kaum milenial.

Di seminar tersebut, dengan gamblang Prof. Eko memaparkan apa yang bakal terjadi di Revolusi  Industri 4.0 ketika dunia yang kita tinggali ini sarat dengan teknologi robotik, artificial intelligence, digitalizing. Beliau juga menekankan tujuan utama dari kehadiran Revolusi Industri 4.0 adalah people become smarter, people become healthier, people become wealthier, dan people become happier. 

Mengulas Revolusi Industri

Narasi revolusi industri, pertama kali dimulai di Inggris pada abad 18 yang ditandai dengan pemanfaatan mesin uap secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, dan transportasi. Dampaknya berimbas pada kehidupan sosial dan politik dunia pada saat itu, yakni munculnya kelas masyarakat buruh dan borjuis, dan juga munculnya paham sosialis yang dipelopori oleh Karl Marx. Dan dikarenakan kebutuhan bahan pokok industri yang terus meningkat, mendorong kerajaan-kerajaan untuk melakukan ekspansi wilayah dengan mencari sumber-sumber alam baru. Persaingan antar wilayah kerajaan pun tidak bisa dihindarkan. Dan akhirnya memuncak di Perang Dunia I.

Selepas Perang Dunia I usai,  panggung politik dunia berubah total. Ditandai dengan munculnya negara-negara baru di bekas kerajaan Eropa. Industri yang dibangun dengan tenaga uap, perlahan berganti dengan motor listrik. Padahal secara waktu penemuan, konsep motor listrik pertama kali dicetuskan pada abad 18 oleh Michael Faraday.

Dengan masuknya motor listrik di industri-industri dunia, babak baru Revolusi Industri kedua pun dimulai. Harga-harga barang yang dihasilkan menjadi lebih murah, dan memungkinkan untuk di distribusikan pada masyarakat banyak. Konsep persaingan wilayah antar kerajaan, berubah menjadi konsep persaingan pasar antar negara. Dan dengan produktifitas yang lebih intens, produksi baja dan minyak yang mumpuni telah mendorong negara-negara melakukan ekspansi lebih jauh dengan membangun rel kereta api, menciptakan mesin baru untuk transportasi. Serta membangun armada perang yang kuat untuk melindungi kedaulatan perekonomian mereka. 

Persaingan perekonomian semakin menegang antara aliansi negara pemenang perang dan negara yang kalah perang. Ketegangan tersebut memuncak dan akhirnya meletus pada Perang Dunia II. Pada waktu ini, teknologi papan sirkuit dan komputer generasi pertama telah ditemukan namun masih terbatas pada lingkungan militer. Meskipun penggunaannya terbatas, pemanfaatan teknologi ini menandakan bahwa dunia, sesaat setelah perang usai, akan memasuki Revolusi Industri Ketiga.

Pada Revolusi Industri Ketiga, pemanfaatan sains begitu cepat berkembang dalam kehidupan manusia. Penemuan perangkat transistor yang lebih baik membuat perangkat komputer memiliki kemampuan yang lebih optimal, memungkinkan untuk melakukan perhitungan algoritma yang lebih performatif. Pada masa ini pula, Teknologi internet berkembang dan memungkinkan untuk berkomunikasi secara real-time serta menawarkan biaya yang lebih murah dari sistem telepon. Teknologi pengirim pesan pun semakin baik dibanding sistem pos yang dibangun melalui jaringan kereta api.

Selain itu, ditemukan juga sumber energi baru yaitu energi yang dihasilkan dari tumbukan atom. Energi ini relatif lebih murah dan berdaya jangka panjang.

(Bersambung...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teater, Proses, dan Orang-Orang - sebuah renungan perjalanan Part.II

Dari rentang 2009 sampai sekarang, saya telah bertemu dengan orang-orang dari lintas generasi yang berbeda dari latar belakang yang berbeda-beda. setiap orang yang saya temui tentunya memiliki pemikiran yang unik satu sama lain. sehingga dampak dari perbedaan ini, berdampak pada suasana proses latihan yang terasa 'penuh'. Saya memakai 'penuh', sebagai dampak dari proses latihan yang dilakukan dengan sadar. Selama berlatih bersama orang banyak, yang saya temukan adalah suasana 'penuh' tersebut. penuh keringat, penuh diskusi, penuh pemberontakan, penuh penghambaan, penuh pengharapan, penuh benci, dan 'penuh' lainnya Saya sadar jika saya adalah sosok yang tidak begitu berani untuk mengemukakan gagasan di depan orang banyak. saya lebih memilih untuk nyaman dengan pikiran sendiri. kegelisahan yang saya buat, saya telan sendiri. padahal kegelisahan itu adalah hasil refleksi dari dunia di sekitar saya. Namun dalam proses latihan, mau tidak mau kegelisa

Menuju Kesimpulan (Bagian Satu)

saya selayaknya bersyukur, karena pernah berada di lingkungan yang menuntut untuk membaca dalam kesehariannya. lingkungan ini (teater) perlahan-lahan membentuk suatu kebiasaan dalam diri untuk tetap membaca ketika berada di luar lingkungan tersebut. ketika saya jauh dari membaca naskah, maka saya mengupayakan diri untuk tetap dekat dengan buku-buku. entah baik atau tidak, saya merasa senang jika harus membeli buku, baik yang baru atau bekas, yang sekiranya pantas untuk dibaca. dan ada kepuasan tersendiri jika berada tepat di depan buku-buku yang berjejer dalam rak. pertanyaannya, apakah ini baik atau tidak? terus terang, saya masih tidak tahu dengan kebiasaan membeli buku-buku tersebut apakah dapat memberikan manfaat yang lebih. meskipun, saya suka dengan membaca karena ada aktifitas menggali pengetahuan didalamnya, namun jika diumpamakan seperti seseorang yang sedang mencari harta karun dalam tanah, maka saya adalah seorang yang sedang menggali di berbagai tempat dan belum menemu